JURUS PERTAMA: MENDIDIK ANAK PERLU ILMU
Ilmu merupakan kebutuhan primer setiap insan dalam setiap lini
kehidupannya, termasuk dalam mendidik anak. Bahkan kebutuhan dia terhadap ilmu
dalam mendidik anak, melebihi kebutuhannya terhadap ilmu dalam menjalankan
pekerjaannya.
Namun, realita berkata lain. Rupanya tidak sedikit di antara kita
mempersiapkan ilmu untuk kerja lebih banyak daripada ilmu untuk menjadi
orangtua. Padahal tugas kita menjadi orangtua dua puluh empat jam sehari
semalam, termasuk saat tidur, terjaga serta antara sadar dan tidak. Sementara
tugas kita dalam pekerjaan, hanya sebatas jam kerja.
Betapa banyak suami yang menyandang gelar bapak hanya karena
istrinya melahirkan. Sebagaimana banyak wanita disebut ibu semata-mata karena
dialah yang melahirkan. Bukan karena mereka menyiapkan diri menjadi orangtua.
Bukan pula karena mereka memiliki kepatutan sebagai orangtua.
Padahal, menjadi orangtua harus berbekal ilmu yang memadai.
Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan, tak cukup untuk
membuat anak kita menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak
bisa dibeli dengan uang.
Uang
memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap.
Uang
bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di
dalamnya.
Uang
juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur anak,
tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas.
Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal
di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari
orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan dan kasih sayang!
Ilmu apa saja yang dibutuhkan?
Banyak jenis ilmu yang dibutuhkan orangtua dalam mendidik anaknya.
Mulai dari ilmu agama dengan berbagai varianya, hingga ilmu cara berkomunikasi
dengan anak.
Jenis ilmu agama pertama dan utama yang harus dipelajari orangtua
adalah akidah. Sehingga ia bisa menanamkan akidah yang lurus dan keimanan yang
kuat dalam jiwa anaknya. Nabishallallahu’alaihiwasallam mencontohkan bagaimana membangun pondasi tersebut dalam jiwa anak,
dalam salah satu sabdanya untuk Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,
“إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ
بِاللَّه”.
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Dan jika engkau
meminta pertolongan, mintalah kepada Allah”. HR. Tirmidzi dan beliau
berkomentar, “Hasan sahih”.
Selanjutnya ilmu tentang cara ibadah, terutama shalat dan cara
bersuci. Demi merealisasikan wasiat Nabi shallallahu’alaihiwasallam untuk para orangtua,
“مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ
سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْر”.
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh
tahun, dan pukullah jika enggan saat mereka berumur sepuluh tahun”. HR. Abu
Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albany.
Bagaimana mungkin orangtua akan memerintahkan shalat pada anaknya,
jikalau ia tidak mengerti tatacara shalat yang benar. Mampukah orang yang tidak
mempunyai sesuatu, untuk memberikan sesuatu kepada orang lain?
Berikutnya ilmu tentang akhlak, mulai adab terhadap orangtua,
tetangga, teman, tidak lupa adab keseharian si anak. Bagaimana cara makan,
minum, tidur, masuk rumah, kamar mandi, bertamu dan lain-lain.
Dalam hal ini Nabi shallallahu’alaihiwasallam mempraktekkannya sendiri, antara lain ketika beliau bersabda
menasehati seorang anak kecil,
“يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ”.
“Nak, ucapkanlah bismillah (sebelum engkau makan) dan gunakanlah
tangan kananmu”. HR. Bukhari dan Muslim dari
Umar bin Abi Salamah.
Yang tidak kalah pentingnya adalah: ilmu seni berinteraksi dan
berkomunikasi dengan anak. Bagaimana kita menghadapi anak yang hiperaktif atau
sebaliknya pendiam. Bagaimana membangun rasa percaya diri dalam diri anak.
Bagaimana memotivasi mereka untuk gemar belajar. Bagaimana menumbuhkan bakat
yang ada dalam diri anak kita. Dan berbagai konsep-konsep dasar pendidikan anak
lainnya.
Ayo belajar!
Semoga pemaparan singkat di atas bisa menggambarkan pada kita
urgensi ilmu dalam mendidik anak. Sehingga diharapkan bisa mendorong kita untuk
terus mengembangkan diri, meningkatkan pengetahuan kita, menghadiri majlis
taklim, membaca buku-buku panduan pendidikan. Agar kita betul-betul menjadi
orangtua yang sebenarnya, bukan sekedar orang yang lebih tua dari anaknya!
JURUS KEDUA: MENDIDIK ANAK PERLU KESALIHAN ORANGTUA
Tentu Anda masih ingat kisah ‘petualangan’ Nabi Khidir dengan Nabi
Musa ‘alaihimassalam. Ya, di antara penggalan kisahnya adalah apa yang Allah sebutkan
dalam surat al-Kahfi. Manakala mereka berdua memasuki suatu kampung dan
penduduknya enggan untuk sekedar menjamu mereka berdua. Sebelum meninggalkan
kampung tersebut, mereka menemukan rumah yang hampir ambruk. Dengan ringan
tangan Nabi Khidir memperbaiki tembok rumah tersebut, tanpa meminta upah dari
penduduk kampung. Nabi Musa terheran-heran melihat tindakannya. Nabi Khidir pun
beralasan, bahwa rumah tersebut milik dua anak yatim dan di bawahnya terpendam
harta peninggalan orangtua mereka yang salih. Allah berkehendak menjaga harta
tersebut hingga kedua anak tersebut dewasa dan mengambil manfaat dari harta
itu.
Para ahli tafsir menyebutkan, bahwa di antara pelajaran yang bisa
dipetik dari kisah di atas adalah: Allah akan menjaga keturunan seseorang
manakala ia salih, walaupun ia telah meninggal dunia sekalipun.
Subhânallâh, begitulah dampak positif kesalihan orang tua! Sekalipun telah
meninggal dunia masih tetap dirasakan oleh keturunannya. Bagaimana halnya
ketika ia masih hidup?? Tentu lebih besar dan lebih besar lagi dampak
positifnya.
Urgensi kesalihan orangtua dalam mendidik anak
Kita semua mempunyai keinginan dan cita-cita yang sama. Ingin agar
keturunan kita menjadi anak yang salih dan salihah. Namun, terkadang kita lupa
bahwa modal utama untuk mencapai cita-cita mulia tersebut ternyata adalah:
kesalihan dan ketakwaan kita selaku orangtua. Alangkah lucunya, manakala kita
berharap anak menjadi salih dan bertakwa, sedangkan kita sendiri berkubang
dalam maksiat dan dosa!
Kesalihan jiwa dan perilaku orangtua mempunyai andil yang sangat
besar dalam membentuk kesalihan anak. Sebab ketika si anak membuka matanya di
muka bumi ini, yang pertama kali ia lihat adalah ayah dan bundanya. Manakala ia
melihat orangtuanya berhias akhlak mulia serta tekun beribadah, niscaya itulah
yang akan terekam dengan kuat di benaknya. Dan insyaAllah itupun juga yang akan ia
praktekkan dalam kesehariannya. Pepatah mengatakan: “buah tidak akan jatuh jauh
dari pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan pada diri anak disebabkan ia mengikuti
ketakwaan kedua orangtuanya atau salah seorang dari mereka. Ingat karakter
dasar manusia, terutama anak kecil, yang suka meniru!
Beberapa contoh aplikasi nyatanya
Manakala kita menginginkan anak kita rajin untuk mendirikan shalat
lima waktu, gamitlah tangannya dan berangkatlah ke masjid bersama. Bukan hanya
dengan berteriak memerintahkan anak pergi ke masjid, sedangkan Anda asyik
menonton televisi.
Jika Anda berharap anak rajin membaca al-Qur’an, ramaikanlah rumah
dengan lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an yang keluar dari lisan ayah, ibu
ataupun kaset dan radio. Jangan malah Anda menghabiskan hari-hari dengan
membaca koran, diiringi lantunan langgam gendingan atau suara biduanita yang
mendayu-dayu!
Kalau Anda menginginkan anak jujur dalam bertutur kata, hindarilah
berbohong sekecil apapun. Tanpa disadari, ternyata sebagai orang tua kita
sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada
saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut
atau mengajak jalan-jalan mengelilingi perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah
kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih
berbohong dengan mengatakan, “Bapak hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya.
Sebentaaar saja ya sayang…”. Tapi ternyata, kita malah pulang malam!
Dalam contoh di atas, sejatinya kita telah berbohong kepada anak,
dan itu akan ditiru olehnya.
Terus apa yang sebaiknya kita lakukan? Berkatalah dengan jujur
kepada anak. Ungkapkan dengan lembut dan penuh kasih serta pengertian, “Sayang,
bapak mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo bapak ke kebun
binatang, insyaAllah kamu bisa ikut”.
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan
keadaan ini. Pastinya akan membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian
kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum
memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita
perlu bersabar dan melakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus.
Perlahan anak akan memahami mengapa orangtuanya selalu pergi di pagi hari dan
bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut.
Anda ingin anak jujur? Mulailah dari diri Anda sendiri!
Sebuah renungan penutup
Tidak ada salahnya kita putar ingatan kepada beberapa puluh tahun
ke belakang, saat sarana informasi dan telekomunikasi masih amat terbatas, lalu
kita bandingkan dengan zaman ini dan dampaknya yang luar biasa untuk para
orangtua dan anak.
Dulu, masih banyak ibu-ibu yang rajin mengajari anaknya mengaji,
namun sekarang mereka telah sibuk dengan acara televisi. Dahulu ibu-ibu dengan
sabar bercerita tentang kisah para nabi, para sahabat hingga teladan dari para
ulama, sekarang mereka lebih nyaman untuk menghabiskan waktu berfacebookan dan akrab dengan artis di televisi. Dulu bapak-bapak mengajari
anaknya sejak dini tatacara wudhu, shalat dan ibadah primer lainnya, sekarang
mereka sibuk mengikuti berita transfer pemain bola!
Bagaimana kondisi anak-anak saat ini, dan apa yang akan terjadi di
negeri kita lima puluh tahun ke depan, jika kondisi kita terus seperti ini??
Jika kita tidak ingin menjumpai mimpi buruk kehancuran negeri ini,
persiapkan generasi muda sejak sekarang. Dan untuk merealisasikan itu, mulailah
dengan memperbaiki diri kita sendiri selaku orangtua! Sebab mendidik anak
memerlukan kesalihan orangtua.
Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah baik kita, amien…
JURUS KETIGA: MENDIDIK ANAK PERLU KEIKHLASAN
Ikhlas merupakan ruh bagi setiap amalan. Amalan tanpa disuntik
keikhlasan bagaikan jasad yang tak bernyawa.
Termasuk jenis amalan yang harus dilandasi keikhlasan adalah
mendidik anak. Apa maksudnya?
Maksudnya adalah: Rawat dan didik anak dengan penuh ketulusan dan
niat ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah ta’ala.
Canangkan niat semata-mata untuk Allah dalam seluruh aktivitas
edukatif, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan maupun hukuman.
Iringilah setiap kata yang kita ucapkan dengan keikhlasan..
Bahkan dalam setiap perbuatan yang kita lakukan untuk merawat
anak, entah itu bekerja membanting tulang guna mencari nafkah untuknya,
menyuapinya, memandikannya hingga mengganti popoknya, niatkanlah semata karena
mengharap ridha Allah.
Apa sih kekuatan keikhlasan?
Ikhlas memiliki dampak kekuatan yang begitu dahsyat. Di antaranya:
1.
Dengan
ketulusan, suatu aktivitas akan terasa ringan. Proses membuat dan mendidik anak, mulai dari mengandung,
melahirkan, menyusui, merawat, membimbing hingga mendidik, jelas membutuhkan
waktu yang tidak sebentar. Puluhan tahun! Tentu di rentang waktu yang cukup
panjang tersebut, terkadang muncul dalam hati rasa jenuh dan kesal karena ulah
anak yang kerap menjengkelkan. Seringkali tubuh terasa super capek karena
banyaknya pekerjaan; cucian yang menumpuk, berbagai sudut rumah yang
sebentar-sebentar perlu dipel karena anak ngompol di sana sini dan tidak
ketinggalan mainan yang selalu berserakan dan berantakan di mana-mana.Anda
ingin seabreg pekerjaan itu terasa ringan? Jalanilah dengan penuh ketulusan dan
keikhlasan! Sebab seberat apapun pekerjaan, jika dilakukan dengan ikhlas insyaAllah akan terasa ringan, bahkan menyenangkan. Sebaliknya, seringan
apapun pekerjaan, kalau dilakukan dengan keluh kesah pasti akan terasa seberat
gunung dan menyebalkan.
2.
Dengan
keikhlasan, ucapan kita akan berbobot. Sering kita mencermati dan merasakan bahwa di antara kata-kata
kita, ada yang sangat membekas di dada anak-anak yang masih belia hingga mereka
dewasa kelak. Sebaliknya, tak sedikit ucapan yang bahkan kita teriakkan
keras-keras di telinganya, ternyata berlalu begitu saja bagai angin malam yang
segera hilang kesejukannya begitu mentari pagi bersinar.Apa yang membedakan?
Salah satunya adalah kekuatan yang menggerakkan kata-kata kita. Jika Engkau
ucapkan kata-kata itu untuk sekedar meluapkan amarah, maka anak-anak itu akan
mendengarnya sesaat dan sesudah itu hilang tanpa bekas. Namun jika Engkau
ucapkan dengan sepenuh hati sambil mengharapkan turunnya hidayah untuk
anak-anak yang Engkau lahirkan dengan susah payah itu, insya Allah akan menjadi perkataan yang berbobot.Sebab bobot kata-kata kita
kerap bersumber bukan dari manisnya tutur kata, melainkan karena kuatnya
penggerak dari dalam dada; iman kita dan keikhlasan kita…
3.
Dengan
keikhlasan anak kita akan mudah diatur. Jangan pernah meremehkan perhatian dan pengamatan anak kita.
Anak yang masih putih dan bersih dari noda dosa akan begitu mudah merasakan
suasana hati kita.Dia bisa membedakan antara tatapan kasih sayang dengan
tatapan kemarahan, antara dekapan ketulusan dengan pelukan kejengkelan, antara
belaian cinta dengan cubitan kesal. Bahkan ia pun bisa menangkap suasana hati
orangtuanya, sedang tenang dan damaikah, atau sedang gundah gulana?Manakala si
anak merasakan ketulusan hati orangtuanya dalam setiap yang dikerjakan, ia akan
menerima arahan dan nasehat yang disampaikan ayah dan bundanya, karena ia
menangkap bahwa segala yang disampaikan padanya adalah semata demi kebaikan
dirinya.
4.
Dengan
keikhlasan kita akan memetik buah manis pahala. Keikhlasan bukan hanya memberikan dampak positif di dunia, namun
juga akan membuahkan pahala yang amat manis di alam sana. Yang itu berujung
kepada berkumpulnya orangtua dengan anak-anaknya di negeri keabadian; surga
Allah yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan.
وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ
أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
Artinya: “Orang-orang yang beriman, beserta anak
cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami akan pertemukan mereka
dengan anak cucu mereka”. QS. Ath-Thur: 21.
Mulailah dari sekarang!
Latih dan biasakan diri untuk ikhlas dari sekarang, sekecil apapun
perbuatan yang kita lakukan.
Kalau Engkau bangun di tengah malam untuk membuatkan susu buat
anakmu, aduklah ia dengan penuh keikhlasan sambil mengharap agar setiap tetes
yang masuk kerongkongannya akan menyuburkan setiap benih kebaikan dan
menyingkirkan setiap bisikan yang buruk.
Kalau Engkau menyuapkan makanan untuknya, suapkanlah dengan penuh
keikhlasan sembari memohon kepada Allah agar setiap makanan yang mengalirkan
darah di tubuh mereka akan mengokohkan tulang-tulang mereka, membentuk daging
mereka dan membangkitkan jiwa mereka sebagai penolong-penolong agama Allah.
Sehingga dengan itu, semoga setiap suapan yang masuk ke mulut
mereka akan membangkitkan semangat dan meninggikan martabat. Mereka akan
bersemangat untuk senantiasa menuntut ilmu, beribadah dengan tekun kepada Allah
dan meninggikan agama-Nya. Amîn yâ mujîbas
sâ’ilîn…
JURUS KEEMPAT: MENDIDIK ANAK PERLU KESABARAN
Sabar merupakan salah satu syarat mutlak bagi mereka yang ingin
berhasil mengarungi kehidupan di dunia. Kehidupan yang tidak lepas dari susah
dan senang, sedih dan bahagia, musibah dan nikmat, menangis dan tertawa, sakit
dan sehat, lapar dan kenyang, rugi dan untung, miskin dan kaya, serta mati dan
hidup.
Di antara episode perjalanan hidup yang membutuhkan kesabaran
ekstra adalah masa-masa mendidik anak. Sebab rentang waktunya tidak sebentar
dan seringkali anak berperilaku yang tidak sesuai dengan harapan kita.
Contoh aplikasi kesabaran
1.
Sabar
dalam membiasakan perilaku baik terhadap anak. Anak bagaikan kertas yang masih putih, tergantung siapa yang
menggoreskan lukisan di atasnya. Rasulullahshallallahu’alaihiwasallam menggambarkan hal itu dalam sabdanya,
“مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ
يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه”
“Setiap bayi lahir dalam
keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau
Majusi”. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Andaikan sejak kecil anak
dibiasakan berperilaku baik, mulai dari taat beribadah hingga adab mulia dalam
keseharian, insyaAllah hal itu akan sangat membekas dalam dirinya. Sebab mendidik di
waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu.
Mengukir di atas batu
membutuhkan kesabaran dan keuletan, namun jika ukiran tersebut telah jadi
niscaya ia akan awet dan tahan lama.
2.
Sabar
dalam menghadapi pertanyaan anak. Menghadapi pertanyaan anak, apalagi yang baru saja mulai tumbuh
dan menginginkan untuk mengetahui segala sesuatu yang ia lihat, memerlukan
kesabaran yang tidak sedikit. Terkadang timbul rasa jengkel dengan pertanyaan
anak yang tidak ada habis-habisnya, hingga kerap kita kehabisan kata-kata untuk
menjawab pertanyaannya.Sesungguhnya kesediaan anak untuk bertanya kepada kita,
‘seburuk’ apa pun pertanyaan yang ia lontarkan, merupakan pertanda bahwa mereka
memberikan kepercayaannya kepada kita untuk menjawab. Maka jalan terbaik adalah
menghargai kepercayaannya dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya,
serta memberikan jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa.Jika kita
ogah-ogahan untuk menjawab pertanyaan anak atau menjawab sekenanya atau bahkan
justru menghardiknya, hal itu bisa berakibat fatal. Anak tidak lagi percaya
dengan kita, sehingga ia akan mencari orang di luar rumah yang dianggapnya bisa
memuaskan pertanyaan-pertanyaan dia. Dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa
orang yang ditemuinya di luar adalah orang baik-baik! Ingat betapa rusaknya
pergaulan di luar saat ini!
3.
Sabar
menjadi pendengar yang baik.
Banyak orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak-anaknya. Bila ada suatu
masalah yang terjadi pada anak, orangtua lebih suka menyela, langsung
menasihati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal-usul kejadiannya.Salah
satu contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya siang ternyata
baru pulang sore hari. Kita tidak mendapat pemberitahuan apa pun darinya atas
keterlambatan tersebut. Tentu saja kita merasa kesal menunggu, sekaligus juga
khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung
menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak
hendak berbicara, kita selalu memotongnya, dengan ungkapan, “Sudah-sudah tidak
perlu banyak alasan”, atau “Ah, papa/mama tahu kamu pasti main ke tempat itu
lagi kan?!”. Akibatnya, ia malah tidak mau bicara dan marah pada kita.Pada saat
seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak adalah ingin didengarkan
terlebih dahulu dan ingin diperhatikan. Mungkin keterlambatannya ternyata
disebabkan adanya tugas mendadak dari sekolah. Ketika anak tidak diberi
kesempatan untuk berbicara, ia merasa tidak dihargai dan akhirnya dia juga
berbalik untuk tidak mau mendengarkan kata-kata kita.Yang sebaiknya dilakukan
adalah, kita memulai untuk menjadi pendengar yang baik. Berikan kepada
anak waktu yang seluas-luasnya untuk mengungkapkan segalanya. Bersabarlah untuk
tidak berkomentar sampai saatnya tiba. Ketika anak sudah selesai menjelaskan
duduk permasalahan, barulah Anda berbicara dan menyampaikan apa yang ingin Anda
sampaikan.
4.
Sabar
manakala emosi memuncak.
Hendaknya kita tidak memberikan sanksi atau hukuman pada anak ketika emosi kita
sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari
mulut kita, cenderung untuk menyakiti dan menghakimi, tidak untuk menjadikan
anak lebih baik.Yang seyogyanya dilakukan adalah: bila kita dalam keadaan
sangat marah, segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk
menurunkan amarah kita dengan segera. Bisa dengan mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu’alaihiwasallam; yakni berwudhu.Jika kita bertekad untuk tetap memberikan sanksi,
tundalah sampai emosi kita mereda. Setelah itu pilih dan susunlah bentuk
hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuatnya.
Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.Berakit-rakit ke huluPepatah Arab mengatakan, “Sabar bagaikan buah brotowali, pahit
rasanya, namun kesudahannya lebih manis daripada madu”.Sabar dalam mendidik
anak memang terasa berat, namun tunggulah buah manisnya kelak di dunia maupun
akhirat. Di dunia mereka akan menjadi anak-anak yang menurut kepada orangtuanya insyaAllah. Dan manakala kita telah masuk di alam akhirat mereka akan terus
mendoakan kita, sehingga curahan pahala terus mengalir deras. Semoga…
JURUS KELIMA: MENDIDIK ANAK PERLU IRINGAN DOA
Beberapa saat lalu saya mampir shalat Jum’at di masjid salah satu
perumahan di bilangan Sokaraja Banyumas. Di sela-sela khutbahnya, khatib
bercerita tentang kejadian yang menimpa sepasang suami istri. Keduanya terkena
stroke, namun sudah sekian bulan tidak ada satupun di antara anaknya yang
datang menjenguk. Manakala dibesuk oleh si khatib, sang bapak bercerita sambil
menangis terisak, “Mungkin Allah telah mengabulkan doa saya. Sekarang inilah
saya merasakan akibat dari doa saya! Dahulu saya selalu berdoa agar anak-anak
saya jadi ‘orang’. Berhasil, kaya, sukses dst. Benar, ternyata Allah
mengabulkan seluruh permintaan saya. Semua anak saya sekarang menjadi orang
kaya dan berhasil. Mereka tinggal di berbagai pulau di tanah air, jauh dari
saya. Memang mereka semua mengirimkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan
semua menelpon saya untuk segera berobat. Namun bukan itu yang saya butuhkan
saat ini. Saya ingin belaian kasih sayang tangan mereka. Saya ingin dirawat dan
ditunggu mereka, sebagaimana dulu saya merawat mereka”.
Ya, berhati-hatilah Anda dalam memilih redaksi doa, apalagi jika
itu ditujukan untuk anak Anda. Tidak ada redaksi yang lebih baik dibandingkan
redaksi doa yang diajarkan dalam al-Qur’an dan Hadits. “Robbanâ hablanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ
qurrota a’yun, waj’alnâ lil muttaqîna imâmâ” (Wahai Rabb kami, karuniakanlah
pada kami pasangan dan keturunan yang menyejukkan pandangan mata. Serta
jadikanlah kami imam bagi kaum muttaqin). QS. Al-Furqan: 74.
Seberapa besar sih kekuatan doa?
Sebesar apapun usaha orangtua dalam merawat, mendidik,
menyekolahkan dan mengarahkan anaknya, andaikan Allah ta’ala tidak
berkenan untuk menjadikannya anak salih, niscaya ia tidak akan pernah menjadi
anak salih. Hal ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah dan betapa
kecilnya kekuatan kita. Ini jelas memotivasi kita untuk lebih membangun
ketergantungan dan rasa tawakkal kita kepada Allah jalla wa
‘ala. Dengan cara, antara lain, memperbanyak menghiba, merintih, memohon
bantuan dan pertolongan dari Allah dalam segala sesuatu, terutama dalam hal
mendidik anak.
Secara khusus, doa orangtua untuk anaknya begitu spesial.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallammenjelaskan hal itu dalam sabdanya,
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ
الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga doa yang akan dikabulkan tanpa ada keraguan sedikitpun. Doa
orangtua, doa musafir dan doa orang yang dizalimi”. HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinyatakanhasan oleh Syaikh al-Albany.
Sejak kapan kita mendoakan anak kita?
Sejak Anda melakukan proses hubungan suami istri telah
disyariatkan untuk berdoa demi kesalihan anak Anda. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ وَقَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ
اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا”
فَرُزِقَا وَلَدًا لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ”
“Jika salah seorang dari kalian sebelum bersetubuh dengan istrinya
ia membaca “Bismillah, allôhumma jannibnasy syaithôn wa jannibisy syaithôna mâ
rozaqtanâ” (Dengan nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan
jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan pada kami), lalu mereka berdua
dikaruniai anak; niscaya setan tidak akan bisa mencelakakannya”. HR. Bukhari
(hal. 668 no. 3271) dan Muslim (X/246 no. 3519) dari Ibnu Abbas.
Ketika anak telah berada di kandungan pun jangan pernah lekang
untuk menengadahkan tangan dan menghadapkan diri kepada Allah, memohon agar
kelak keturunan yang lahir ini menjadi generasi yang baik. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mencontohkan,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk
orang-orang salih”. QS. Ash-Shâffât: 100.
Nabi Zakariya ‘alaihissalam juga demikian,
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ
الدُّعَاءِ
“Ya Rabbi, berilah aku dari sisiMu keturunan yang baik.
Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. QS. Ali Imran: 38.
Setelah lahir hingga anak dewasa sekalipun, kawal dan iringilah
terus dengan doa. Pilihlah waktu-waktu yang mustajab. Antara adzan dengan
iqamah, dalam sujud dan di sepertiga malam terakhir misalnya.Bahkan tidak ada
salahnya ketika berdoa, Anda perdengarkan doa tersebut di hadapan anak Anda.
Selain untuk mengajarkan doa-doa nabawi tersebut, juga agar dia melihat dan
memahami betapa besar harapan Anda agar dia menjadi anak salih.
Awas, hati-hati!
Doa orangtua itu mustajab, baik doa tersebut bermuatan baik maupun
buruk. Maka berhati-hatilah wahai para orangtua. Terkadang ketika Anda marah,
tanpa terasa terlepas kata-kata yang kurang baik terhadap anak Anda, lalu Allah
mengabulkan ucapan tersebut, akibatnya Anda menyesal seumur hidup.
Dikisahkan ada seorang yang mengadu kepada Imam Ibn al-Mubarak
mengeluhkan tentang anaknya yang durhaka. Beliau bertanya, “Apakah engkau
pernah mendoakan tidak baik untuknya?”. “Ya” sahutnya. “Engkau sendiri yang
merusak anakmu” pungkas sang Imam.
Sumber:
Pesantren Tunas Ilmu, Kedungwuluh Purbalingga, 9
Ramadhan 1432 / 9 Agustus 2011
Penulis Abdullah Zaen, Lc,. MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar